Mengenang Ani Idrus, Profil Wartawan Pejuang



Jakarta, Berita Adzan — Di era ketika Indonesia masih di fase-fase awal kemerdekaan, perempuan yang berkiprah di dunia jurnalistik bisa dihitung dengan jari.
Salah satunya, perempuan asli Minang, Ani Idrus. Pendiri dan Pemimpin Redaksi Harian Waspada, Medan. Kiprahnya di dunia kewartawanan, diabdikan untuk perjuangan kemerdekaan dan kebangkitan bangsa.
Andi Idrus, lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada 25 November 1918. Pada era ketika pemerintah kolonial Belanda masih bercokol kuat di bumi Nusantara. Sejak masa kecil di kota kelahirannya, kepekaan sosial dan rasa kebangsaan Ani Idrus terpupuk oleh keadaan. Kala itu, di Sawahlunto para tahanan dipaksa untuk bekerja sebagai kuli di tambang batubara, dan diperlakukan secara kasar dan kejam. Tak heran jika Ani Idrus menjelma menjadi sosok yang berjiwa nasionalis dan pejuang kemerdekaan yang gigih melawan penjajahan Belanda.
Pendidikan formal Ani Idrus memang hanya sampai tingkat sekolah dasar, namun dorongannya yang begitu kuat untuk belajar sendiri secara otodidak, membawa dirinya menjadi jurnalis perempuan yang diperhitungkan, maupun sebagai aktivis yang bergerak di bidang pendidikan dan politik.
Minat sejatinya dalam bidang tulis-menulis nampaknya mulai terlihat sejak usia 12 tahun, ketika mulai menulis untuk majalah terbitan Balai Pustaka, Pandji Poestaka. Bahkan yang lebih menakjubkan lagi, yang rasanya sulit dibayangkan terjadi buat perempuan di era serba digital sekarang ini, pada usia 18 tahun Ani sudah bekerja sebagai wartawan untuk surat kabar Sinar Deli dan majalah Sadar.
Ketika di Sinar Deli inilah, Ani menemukan pasangan hidupnya, Mohammad Said, yang juga seorang wartawan. Terbukti melalui perjalanan hidup selanjutnya, Mohammad Said bukan sekadar suami, melainkan juga belahan jiwa, soul mate.
Pada 1947, pasangan ini mendirikan media berkala politik “Seroean Kita”. Ketika Indonesia sudah merdeka, pasangan Ani Idrus-Mohammad Said mendirikan harian Waspada Medan. Selain itu, Ani juga mendirikan Dunia Wanita, majalah pertama yang terbit di Indonesia dan di kota Medan. Pada zaman itu, merupakan hal langka seorang wanita selain tampil sebagai wartawati, pula menjabat sebagai pemimpin umum/pemimpin redaksi sebuah majalah.
Sebagai insan pers yang berkiprah di media massa, ternyata pasangan Ani Idrus-Mohammad Said tidak sekadar menekuni kewartawanan dan liputan berita semata. Bahkan melalui harian Waspada, pasangan ini melancarkan gerakan membubarkan Negara Sumatera Timur yang disponsori oleh pemerintah kolonial Belanda(NICA), yang waktu itu bermaksud untuk kembali menjajah Indonesia menyusul kekalahan Jepang oleh Tentara Sekutu pada Agustus 1945.
Gerakan pasangan ini berhasil ketika akhirnya Republik Indonesia Serikat (RIS) bubar sejak 17 Agustus 1950. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pulih kembali, dengan Muhammad Natsir sebagai perdana menteri.
Sebagai reporter lapangan, reputasi Ani ternyata cukup hebat. Betapa tidak. Pada 1956, dia pergi ke Baling di Semenanjung Melayu meliput pertemuan Tuanku Abdul Rahman, Ketua Menteri Malaya, David Marshall, Ketua Menteri Singapura, dengan Cheng Peng, pemimpin komunis Malaya yang bergerilya di hutan menentang tentara Inggris. Ani Idrus, ternyata merupakan satu-satunya wartawan Indonesia yang meliput ke Baling. Pertemuan itu sendiri akhirnya gagal mencapai mufakat. Ching Peng kembali masuk hutan dan melanjutkan perang gerilya.
Perjalanan yang penuh keberanian dalam meliput pertemuan di Baling, Ani ternyata juga membawa serta putra sulungnya, Tribuana Said yang kala itu masih berusia 11 tahun. Kelak, Tribuana Said menjadi Pemimpin Redaksi Merdeka. Suatu bukti nyata, orang tua yang selalu mengajak serta putra-putrinya berkelana ke berbagai tempat, telah memupuk jiwa petualangan dan menumbuhkan kepekaan baik terhadap lingkungan sekitar maupun lingkungan sosial.
Mungkin karena sudah wataknya sebagai sosok berjiwa aktivis pergerakan, kiprahnya tidak sebatas sebagai wartawan dan pengelola surat kabar. Terbukti berkali-kali Ani diberi amanah sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia(PWI) kring Medan. Selain itu, dia bersama Said aktif di bidang politik sebagai tokoh Partai Nasional Indonesia(PNI) Sumatera Utara. Bahkan pada 1950, Ani mendirikan organisasi Wanita Demokrat di Medan, yang merupakan afiliasi PNI.
Pada 1969, Ani mulai mengambil-alih pimpinan harian Waspada, karena Said mengundurkan diri. Sayang sekali di tengah-tengah semakin mantapnya karir pasangan ini baik di jurnalistik maupun pergerakan politik, pasangan suami-isteri ini terpaksa berpisah baik-baik pada 1970.
Di ranah pendidikan, Ani juga fokus untuk meningkatkan profesionalisme wartawan, dengan mendirikan Sekolah Tinggi Komunikasi Pembangunan (STIKP) yang terletak tak jauh dari kediamannya, di depan stadion Medan. Bahkan di dunia olahraga Sepak Bola pun, Ani punya minat besar. Dengan didirikannya Sekolah Sepak Bola Waspada.
Pada 9 Januari 1999, Ani Idrus meninggal dunia, di Medan, dalam usia 80 tahun. Dalam obituarinya yang bertajuk “Ani Idrus, Perempuan Wartawan Sesungguhnya”, wartawan senior Rosihan Anwar, yang juga sudah wafat, menggambarkan Ani sebagai perempuan Bagak yang telah meninggalkan kita semua.
Bagak adalah istilah dalam bahasa Minang, bermakna pemberani dan jagoan. Agaknya tipologi ini sangat pas dalam menggambarkan seluruh perjalanan hidup Ani Idrus. Seperti halnya cirri perempuan Minang pada umumnya: Tegas, Mandiri, dan Berjiwa Pemimpin.
sumber : Aktual.com
Share on Google Plus

About Unknown

Pelajar Multimedia Di SMK Budhi Warman 1

0 comments:

Post a Comment