Yogyakarta, Berita Adzan – Hutang merupakan salah satu permasalahan fiqih yang layak dijadikan bahan kajian. Sistem kredit (haji dan umroh) pada prinsipnya bagian dari persoalan utang-piutang yang diatur ketentuannya dalam konsep Muamalah.
Menurut ilmu fiqih, Muamalah adalah kegiatan saling tukar-menukar barang maupun jasa yang memberikan manfaat satu sama lain dengan cara tertentu yang sudah disepakati sebelumnya. Hakikat dan konsep Muamalah tidak terlepas dari kehidupan manusia sebagai mahluk sosial yang selalu berhubungan dengan sesama dan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya.
Sistem kredit untuk pembiayaan haji dan umroh di perbankan syariah Indonesia yang beberapa waktu lalu mendapat kritik MUI karena dianggap mengajarkan umat berhutang dalam beribadah, menurut Pakar Perbankan Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Aunur Rahim Faqih, itu adalah bagian dari prinsip yang ada dalam fiqih Muamalah.
“Yang tidak boleh itu mengambil hak orang lain, kalau hutang dan menghutangi sendiri pada prinsipnya dibolehkan dalam Islam. Tinggal melihat tujuan dari hutang itu sendiri.” jelas Aunur kepada Aktual.com, Selasa (29/3).
Idealnya, menurut Aunur, seseorang memang dianjurkan untuk tidak berhutang. Namun, untuk masalah haji atau umroh situasi yang terjadi terkadang relatif, tergantung kondisi ekonomi atau keuangan seseorang. Artinya, jika tidak dilakukan sekarang maka orang tersebut akan melakukan (umroh/haji) 15 atau 20 tahun yang akan datang.
“Oleh karena itu ada jaminan untuk menutup. Misal, dia seorang karyawan maka jaminannya adalah slip gaji dari perusahaan tempat dia bekerja, pemotongan gaji, lalu juga ada lembaga penjamin lain seperti asuransi” tambahnya.
Ketentuan tentang hutang sendiri diatur dalam Surah Al-Baqarah ayat 280 dan 282, juga An-Nissa ayat 29. Yang terpenting adalah hutang tersebut harus tercatat oleh pencatat yang adil. Dalam hal sistem kredit haji dan umroh, pendekatan yang dilakukan akan berhubungan dengan lembaga pembiayaan seperti lembaga perbankan syariah karena terkait persoalan wanprestasi.
Lebih lanjut dijelaskan, prinsip hutang dalam sistem kredit haji dan umroh bersifat produktif, karena didalamnya mengandung beberapa unsur, seperti:
1. Murabahah : Perjanjian jual-beli antar bank dan nasabah.
2. Mudharabah : Kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola dengan suatu perjanjian awal. (Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola)
3. Musyarakah : Akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang diperkenankan oleh syariah.
4. Ijarah : Akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
2. Mudharabah : Kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola dengan suatu perjanjian awal. (Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola)
3. Musyarakah : Akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang diperkenankan oleh syariah.
4. Ijarah : Akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Dari ke-empat unsur diatas, Aunur mengisyaratkan umat Islam dalam memahami sebuah ketentuan agama tidak boleh kaku, banyak ketentuan yang berkembang pemahamannya seiring waktu, termasuk masalah pembiayaan ibadah haji dan umroh.
“Ini harus dikembalikan ke prinsip Muamalah itu yang pada dasarnya boleh, kecuali untuk hal yang dilarang dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, tidak bisa ditawar karena berkaitan dengan Tauhid, kalau Muamalah kaidah fiqiahnya lebih longgar.”
Ketika seseorang ingin menunaikan ibadah haji atau umroh itu berkenaan dengan persoalan sarana dan prasarana dan pengadaan sarana prasarana tersebut berkaitan dengan persoalan Muamalah.
“Perkembangan haji dan umroh sudah sedemikian rupa, tapi perkembangan tersebut tetap harus melihat mana faktor yang esensial (Tauhid) mana yang tidak, mana yg primer, sekunder dan tersiernya.” tutup Aunur.
sumber : Aktual.com
0 comments:
Post a Comment