Jakarta, Berita Adzan — Sudah sepatutnya di dalam dunia kerja atau tempat kerja di mana ada atasan pasti ada juga bawahan. Atau ada pemimpin pasti ada juga yang dipimpin. Dalam hubungan ini, sangat diharapkan terjalin suatu hubungan yang saling menguntungkan (take and give, red).
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan pula terjadi polemik dalam hubungan tersebut mungkin karena alasan kekuasaan, komunikasi, atau hal teknis lainnya. Ini sangat wajar karena dalam dunia kerja.
Yang perlu kita cermati adalah, apa yang menjadi pemicu kerenggangan tersebut? Apakah menyangkut kebijakan yang dikeluarkan, apakah menyangkut peraturan, apakah menyangkut manajemen?. Dan, apakah karena perbedaan watak, lingkungan sosial dan budaya?.
Secara umum, sewajarnya sebagai seorang atasan bertugas memberikan teladan yang baik, bertanggung jawab penuh atas kemajuan organisasi yang dipimpinnya, baik dari segi kualitas SDM, ketersedian sarana-prasarana, serta keterlibatan kerjasamanya dengan pihak luar.
Selain itu, atasan juga berkewajiban membimbing dan memotivasi para bawahannya, agar mereka sebagai bawahan menjadi semangat dalam bekerja, dan merasa tidak dikucilkan dari lingkungan kerjanya. Sebaliknya, bawahan berkewajiban melaksanakan tugas yang diamanahkan kepadanya dengan sebaik mungkin sesuai tugas dan fungsi demi kemajuan organisasi.
Keduanya (atasan dan bawahan) harus mengetahui adab–adab Islami dan bimbingan yang terkait dengan ijaarah (mempekerjakan orang). Dalam Islam Seorang atasan dan pekerja sendiri juga memiliki adab-adabnya. Berikut, Aktual.com hadirkan beberapa adab dalam hubungan kerja di dalam Islam.
1. Hanya Mempekerjakan Sesama Muslim
1. Hanya Mempekerjakan Sesama Muslim
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda فلن أستعين بمشرك “…Aku tidak akan meminta bantuan kepada orang musyrik.” ‘Umar bin Khattab R.A. sangat marah ketika Abu Musa al-Asy’ari R.A mempekerjakan seorang Nasrani sebagai juru tulis pada masa kepemimpinannya di Kufah. Terkecuali jika ia tidak menemukan seorang Muslim hingga ia terpaksa mengupah orang musyrik, itu pun dengan syarat tidak memberikan kekuasaan kepada orang tersebut atas aset-aset kaum Muslimin.
Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَلَن يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لِلۡكَـٰفِرِينَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ سَبِيلاً
Artinya, “… dan Allah SWT sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” ( An Nisa: 141).
2. Mempekerjakan Orang yang Kuat dan Terpercaya
2. Mempekerjakan Orang yang Kuat dan Terpercaya
Hendaknya mempekerjakan seseorang yang pada dirinya sifat amanah, bagus agamanya, kuat dan layak, hal ini berdasarkan firman Allah SWT,
إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَـٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِىُّ ٱلۡأَمِينُ
Artinya, “Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. ” (Al Qashash: 26).
Sebab orang yang memiliki sifat-sifat seperti ini akan mampu melaksanakan tugas dan lebih bertakwa kepada Allah SWT dalam tugasnya. Adapun yang memiliki sebagian sifat di atas dan tidak memiliki sebagian yang lain akan menyebabkan kekacauan sehingga pekerjaan tidak akan sempurna hasilnya. Sebagaimana yang diharapkan. Disebutkan dalam satu riwayat bahwa ‘Umar R.A. berkata, “Ya Allah aku mengadukan kepada-Mu kelemahan orang yang amanah dan penghianatan orang yang kuat.”
3. Kemudahan dalam Muamalah
Maksudnya adalah antara majikan dan pekerja diwarnai dengan kemudahan, kelembutan, dan penuh kerelaan hati. Islam sangat menganjurkan kemudahan dalam semua muamalah. Rasulullah SAW. bersabda: “Allah merahmati orang yang mudah jika menjual, membeli dan menagih.”
4. Kesepakatan
Maksudnya adalah kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya, yakni tentang jenis pekerjaan, karakter dan perinciannya, serta upah yang pantas sehingga tidak merugikan salah satu pihak. Kesepakatan ini akan memutuskan sebab-sebab perselisihan, menutup pintu masuk setan, serta mencegah kecurangan dan penipuan.
Sebagaimana pula majikan tidak boleh memanfaatkan kefakiran pekerja atau memaksanya mengerjakan sesuatu hingga merugikan haknya, atau memberinya upah yang tidak pantas dan tidak sesuai dengan pekerjaan. Rasulullah SAW ketika ditanya tentang pekerjaan Beliau menggembala kambing, Beliau bersabda, “Aku menggembala kambing millik penduduk Makkah dengan upah beberapa Qirath.”
5. Tidak Boleh Mempekerjakan Seseorang untuk Perkara yang Haram
Seorang pekerja tidak boleh mempekerjakan dan menerima pekerjaan yang di dalamnya terkandung kemarahan Allah SWT. Misalnya menjaga toko yang menjual barang haram seperti makanan tidak halal, minuman keras, majalah dan CD-CD porno, dan lain-lain. Demikian juga bagi majikan, janganlah mempekerjakan seseorang untuk membantunya melakukan pekerjaan yang haram. Hal demikian akan menambah dosa pada dosanya yang pertama, yaitu melakukan perbuatan haram, dengan dosa baru, yaitu mengikutsertakan orang lain dalam perkara haram tersebut.
Allah SWT berfirman,
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٲنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ
Artinya, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah SWT amat berat siksa-Nya.” (Al Ma’idah: 2).
6 Amanah dalam Melaksanakan Tugas dan Pekerjaan
Sudah selayaknya seorang pekerja melaksanakan tugasnya dengan penuh amanat dan tidak berkhianat. Hendaknya ia bertakwa kepada Allah SWT, bahkan ketika majikan tidak ada. Ia harus tetap muraqabah (merasa dalam pengawasan) dengan Rabbnya dalam melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya.
Allah SWT berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَـٰنَـٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ
Artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (An Nisa: 58).
7. Menyerahkan Hasil Keuntungan kepada Majikan
Seorang pekerja tidak boleh mengambil sesuatupun untuk dirinya karena itu merupakan penghianatan. Sebagaimana ia juga tidak boleh menyerahkan keuntungan kepada selain majikannya. Sesungguhnya itu adalah kedzaliman. Demikian juga hendaknya ia bersikap wara’ (berhati-hati ) dalam menerima hadiah yang diserahkan kepadanya disebabkan posisinya pada jabatan itu. Rasulullah SAW bersabda, “Seorang bendahara yang amanah, yang menunaikan apa yang diperintahkan kepadanya dengan senang hati, termasuk orang yang bershadaqah.”
8. Berbelas Kasih kepada Pegawai
Hendaknya seorang majikan tidak membebani pegawai dengan pekerjaan di luar kemampuan atau memikulkan kepadanya pekerjaan yang tidak sanggup ia kerjakan. Terkecuali jika majikan turun membantunya mengerjakan tugas yang berat itu. Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak mampu. jika kalian membebankan sesuatu kepada mereka, maka bantulah.”
9. Menunaikan Hak Pekerja
Hendaknya seorang majikan menunaikan hak-hak pekerja yang telah disepakati sebelumnya, segera setelah ia menyelesaikan tugasnya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW.
.أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Artinya, “Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya.”
Rasulullah SAW kembali bersabda,
Rasulullah SAW kembali bersabda,
“Allah SWT berfirman, “Ada tiga macam orang yang langsung Aku tuntut pada hari Kiamat: Orang yang membuat perjanjian atas nama-Ku lalu ia langgar, orang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya; dan orang yang mempekerjakan orang lain, yang orang itu telah menyempurnakan pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikan gajinya (upahnya).”
10. Menjaga Hak-Hak Pekerja yang Pergi (Tidak Hadir)
Hendaknya seorang majikan tetap menjaga hak-hak pekerja jika pekerja itu pergi sebelum ditunaikan haknya, baik karena sakit, pergi tiba-tiba atau sebab lainnya. Seandainya upah pekerja itu bergabung dengan harta dan terus bertambah keuntungannya ketika si pekerja pergi, hendaknya menyerahkan upah itu berikut keuntungannya.Ini merupakan amal shalih dan bentuk penunaian amanah. Rasulullah SAW bersabda, mengisahkan tentang orang yang terperangkap di dalam gua:
“Orang yang ketiga berkata: ‘Ya, Allah, aku pernah mempekerjakan beberapa orang pekerja. Aku pun menyerahkan upah mereka masing – masing, kecuali upah satu orang yang ia pergi sebelum aku menyerahkan upahnya. Kemudian, aku mengusahakan upah itu hingga berkembang menjadi harta yang banyak. Setelah berlalu beberapa waktu, ia pun mendatangiku seraya berkata: “Wahai, hamba Allah, serahkanlah upahku kepadaku!” Aku berkata kepadanya : “Semua yang engkau saksikan berupa unta, sapi, kambing, dan budak ini adalah upahmu.” Dia berkata : “Wahai hamba Allah, janganlah engkau bergurau denganku.” Aku berkata : “Aku tidak bergurau.” Maka dia pun mengambil seluruh harta itu, menuntunnya dan tidak menyisakannya sedikit pun. Ya Allah, jika aku melakukan semua itu semata mata karena mengharap wajah Mu, maka keluarkanlah kami dari tempat ini. Batu itu pun bergeser hingga mereka bertiga dapat berjalan keluar.”
Bila pekerja itu telah meninggal dunia sebelum ia menerima upah, hendaknya majikan menyerahkan upah itu kepada ahli warisnya dengan segera. Sebab, mereka lebih berhak atas upah tersebut. Ini merupakan bentuk penunaian amanah.
Jika majikan sudah berusaha mencari ahli waris pekerja itu namun tidak juga menemukannya, hendaknya ia bersedekah senilai upah itu atas nama pekerja tersebut.
Dan, bagi setiap majikan hendaklah ia tidak mengakhirkan gaji bawahannya dari waktu yang telah dijanjikan, saat pekerjaan itu sempurna atau di akhir pekerjaan sesuai kesepakatan. Jika disepakati, gaji diberikan setiap bulannya, maka wajib diberikan di akhir bulan. Jika di-akhirkan tanpa ada udzur, maka termasuk bertindak zholim.
Allah SWT berfirman mengenai anak yang disusukan oleh istri yang telah diceraikan,
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Artinya, “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (Ath Tholaq: 6).
Dalam ayat ini dikatakan bahwa pemberian upah itu segera setelah selesainya pekerjaan.
Rasulullah SAW juga memerintahkan memberikan upah sebelum keringat si pekerja kering. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Rasulullah SAW juga memerintahkan memberikan upah sebelum keringat si pekerja kering. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Artinya : “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.
Al Munawi menuturkan, “Diharamkan menunda pemberian gaji padahal mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering.” (Faidhul Qodir, 1: 718).
Menunda penurunan gaji pada pegawai padahal mampu termasuk kezholiman. Sebagaimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
Artinya, “Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezholiman” (HR. Bukhari no. 2400 dan Muslim no. 1564).
Bahkan, orang seperti ini halal kehormatannya dan layak mendapatkan hukuman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ
Artinya, “Orang yang menunda kewajiban, halal kehormatan dan pantas mendapatkan hukuman. ” (HR. Abu Daud no. 3628, An Nasa-i no. 4689, Ibnu Majah no. 2427, hasan).
Maksud halal kehormatannya, boleh saja kita katakan pada orang lain bahwa majikan ini biasa menunda kewajiban menunaikan gaji dan zholim. Pantas mendapatkan hukuman adalah ia bisa saja ditahan karena kejahatannya tersebut.
Para Ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi) pernah ditanya, “Ada seorang majikan yang tidak memberikan upah kepada para pekerjanya dan baru memberinya ketika mereka akan safar ke negeri mereka, yaitu setelah setahun atau dua tahun. Para pekerja pun ridho akan hal tersebut karena mereka memang tidak terlalu sangat butuh pada gaji mereka (setiap bulan).”
Jawab Ulama Al Lajnah Ad Daimah, “Yang wajib adalah majikan memberikan gaji di akhir bulan sebagaimana yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi jika ada kesepakatan dan sudah saling ridho bahwa gaji akan diserahkan terakhir setelah satu atau dua tahun, maka seperti itu tidaklah mengapa. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المسلمون على شروطهم
Artinya, “Kaum muslimin wajib mematuhi persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 14: 390)
(Refrensi buku: Ensiklopedia Adab Islam Menurut Al-Qur’an dan Sunnah jilid I hal.63-69, ‘Adul ‘Azizi bin Fathias-Sayyid Nada, penerbit: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, telah diedit untuk keselarasan; H.R. Muslim (1817) dari ‘Aisyah R.A; H.R. Bukhari (2976) dari Jabir R.A; H.R. Bukhari (2262) dari Abu Hurairah R.A; H.R. Bukhari (2260) dan Muslim (1023) dari Abu Musa R.A; H.R. Bukhari (30) dan Muslim (1661) dari Abu Dzar R.A; H.R. Ibnu Majah (2443) dari Ibnu ‘Umar R.A; H.R. Bukhari (2227).)
sumber : Aktual.com
0 comments:
Post a Comment